Kamis, 01 September 2011

Aku Merindu


Aku rindu…
Saat lisan demikian sibuk membaca surat cinta-Nya

Aku rindu…
Saat semangat kian membuncah demi menegakkan ibadah-ibadah wajib maupun sunah

Aku rindu…
Saat setiap insan berlomba untuk menutup aurat agar terlihat islami

Aku rindu…
Saat dahaga dan lapar melanda untuk sementara waktu

Aku rindu…
Saat ayah dan ibu memilih ruang ternyaman mereka demi mengejar target khatam

Aku rindu…
Saat  menghapal tiap ayat-Nya terasa begitu mudah dan menyenangkan

Aku rindu…
Saat keimanan dan ketakwaan harus bertarung hebat dengan hawa nafsu demi menguasai diri

Aku rindu…
Saat setiap detik begitu merugi jika hanya dilewatkan dengan berdiam diri apalagi maksiat

Aku rindu…
Saat Dia dengan sangat royalnya meletakkan pahala di setiap sudut kebajikan

Aku rindu…
Saat air mata begitu mudah mengalir karena cahaya-Nya hangat memeluk jiwa

Aku sungguh rindu…
Ramadhan nan menyejukkan kalbu
Menyapa dengan limpahan keberkahan
Saat kemenangan ditandai dengan takbir bersahutan di seluruh penjuru
Saat maaf begitu dinanti di hari yang fitri 
Aku… pasti akan merindukannya…


Jakarta, 30 Agustus 2011
30 Ramadhan-1 Syawal 1432 H   

Senin, 01 Agustus 2011

Surat Cinta

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Ukhti yang kucintai karena Allah, begitulah aku biasa menyapamu, semoga kabar jasad dan imanmu senantiasa baik dan terus bertambah kebaikannya. Ukhti, mungkin persaudaraan ini tidak sepadan dengan persaudaraan kaum anshar dan muhajirin yang telah dipersatukan oleh kekasih-Nya, Rasulullah saw. Persaudaraan yang berawal dari kesamaan visi dakwah di ROHIS ini begitu sederhana namun penuh makna untukku. Terlebih ketika Allah telah kembali menguatkan persaudaraan ini melalui majelis ilmu.

Pada awalnya, aku mungkin merasa sedikit canggung dengan pertemuan kita. Akan tetapi, bagi diriku, hadirmu telah memberikan warna yang berbeda dalam hidupku. Meskipun dalam waktu yang cukup singkat, tetapi semangatmu, candamu, kecerdasanmu, tangismu, dan kebaikanmu telah memberiku banyak pelajaran. Lamanya tarbiyah belum tentu membuatku lebih memahami kemuliaan Islam dibanding dirimu karena aku pun merasa selalu diingatkan olehmu untuk terus berusaha menjadi pribadi yang lebih baik. Sebenarnya, akulah yang telah banyak belajar darimu, terutama mengenai makna dari fastabiqul khairat.

Ukhti shaliha, begitulah Islam dan dakwah telah mempertemukan kita. Aku tak berharap banyak dari persaudaraan ini, cukuplah dengan hadirnya keberkahan di dalamnya hingga Allah SWT. berkenan mempertemukan kita kembali kelak di jannah-Nya. Terima kasih karena telah menerima segala kekurangan diri ini dan maafkan pula atas segala kekhilafan diri. Pesanku, tetaplah setia kepada kebaikan dan tolong hadirkan namaku dalam setiap rabithahmu.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.


Saudari yang mencintaimu karena Allah Ta’ala
Jakarta, 30 Juli 2011

Kamis, 21 Juli 2011

Pria Itu

Saat aku masih berumur sekitar 6 tahun, pria itu selalu menggenggam tanganku saat kami pergi ke tempat-tempat umum. Dia mengatakan bahwa jika aku hilang mungkin akan sulit menemukanku karena aku terlalu kecil.

Saat aku masih SD, pria itu selalu marah ketika aku merasa malas untuk makan. Dia mempertanyakan rasa bersyukurku atas nikmat untuk bisa mendapat makanan hari itu.
Pria itu memperkecil sifat antisipasiku yang berlebihan kepada sesuatu yang baik. Dia mengatakan bahwa aku harus mencobanya dahulu setelah itu baru memberikan komentar.
Pria itu telah membuatku tersadar akan sifat perfeksionisku yang berlebihan. Dia mengatakan bahwa perfeksionisku bisa memperlambat kerjaku dalam melakukan apa pun.
Pria itu sering memaksaku untuk belajar menghapal setiap gerakan & bacaan dalam shalat. Pria itu juga sering membantuku untuk belajar dan mengerjakan pekerjaan rumah yang diberikan dari sekolah meskipun tetap dengan cara memaksa.
Saat aku mendapat tugas dari sekolah untuk menggambar contoh poster persuasif berhubungan dengan lingkungan, aku membuat sebuah tulisan “Matikan Rokok Anda atau Rokok yang akan Mematikan  Anda”. Sebuah kalimat yang terinspirasi dari kebiasaan buruk pria itu. Kemudian kuputuskan untuk menempel tulisan itu di pintu depan kamarku.
Pria itu yang selalu menghaluskan obat-obatku yang berbentuk tablet hingga menjadi serbuk karena aku belum bisa menelannya langsung.

Saat aku SMA, untuk pertama kalinya aku merasa bahwa dirinya sudah begitu tua. Saat ada peristiwa yang terjadi ketika dia menjemputku pulang sekolah.
Pria itu akan sangat marah ketika sifat tidak percaya diriku muncul.

Pria itu sering menjadi teman diskusiku.
Ketika semua orang di sekitarku memberikan selamat atas sesuatu yang kuraih, dia mungkin adalah orang terakhir yang mengucapkannya setelah sebelumnya berkata “Kenapa hanya itu? Harusnya bisa lebih lagi.”
Pria itu yang kadang dengan sikap keras & arogannya membuat beberapa orang tidak menyukainya. Pria itu tidak bisa bersabar ketika melihat sesuatu yang tidak benar terjadi di hadapannya.
Pria itu tidak segan-segan membantuku untuk mendapatkan yang terbaik dalam hal apa pun.
Pria itu bukan orang yang sempurna, masih banyak pengingatan yang kuberikan padanya atas kelalaiannya.
Pria itu dengan segenap kemampuannya, berusaha mencukupi kebutuhan hidupku & keluarga.
Pria itu terlalu banyak memberi pengaruh dalam hidupku.

Pria itu adalah ayahku.   


Hadiah kecil untuk Ayah
Happy milad day ^^

Rabu, 22 Juni 2011

CERITA TENTANG JILBAB

Jilbab
Hanya selembar kain berbentuk persegi yang kemudian dilipat menjadi segitiga
Digunakan perempuan muslim untuk menutupi kepala atau rambut

Jilbab
Menjadi identitas pengenal bagi seorang muslimah
Perintah yang dituliskan dalam Al-Qur’an

Hanya sebatas itukah maknanya?

Jilbab
Ketika kainnya semakin menipis dan menerawang
Apakah seperti itu pula keadaan iman dalam hati ini?
Ketika bentuknya semakin mengecil dan ‘mencekik’
Apakah seperti itu pula keadaan iman dalam hati ini?
Semoga tidak

Jilbab
Rasa sesak dan sakit
Ketika yang mengenakannya adalah manusia berakhlak buruk
Bukan salahnya atau salah agama yang memerintahkannya
Tapi salah manusianya

Jilbab
Kenapa begitu sakti?
Membuat orang memberi salam meskipun tak saling kenal
Membuat orang jahat mengurungkan  niat jahatnya
Tak dihargai?
Membuat seseorang dikucilkan dari lingkungannya
Membuat seseorang kehilangan pekerjaan demi mempertahankannya

Jilbab
Bagiku kehadirannya lebih dari sekedar selembar kain
Dia adalah pakaian takwa
Membuat hati lebih tenang
Sebagai pengingat agar perilaku & harga diri terjaga

Jilbab
Lebih dari sekedar penampilan fisik
Jilbab dan pribadi, penyatuan yang mutlak
Kemuliaan yang merasuk ke dalam jiwa dan hadir dalam setiap hembusan nafas


Minggu, 29 Mei 2011

Jurnal Tiga Tahun

Masih teringat dengan jelas ketika di pertengahan 2008, kaki ini untuk pertama kalinya melangkah di kampus Politeknik Negeri Jakarta. Setelah sebelumnya melewati prosesi yang biasa dilewati oleh setiap mahasiswa baru, mulai dari pendaftaran, KPSPP hingga sosialisasi jurusan dan mungkin juga proses pencarian rumah kos bagi anak yang tinggalnya cukup jauh dari daerah kampus seperti aku.

Ruang kelas yang berkapasitas kurang lebih 24 orang, sebuah white-board, dan sepasang meja-kursi untuk dosen yang mengajar. Di sinilah tempat aku dan teman-teman AK 1C Pagi yang lainnya akan menghabiskan waktu kami untuk perkuliahan. Akuntansi adalah salah satu jurusan & satu-satunya jurusan yang aku pilih sewaktu mengisi formulir pendaftaran. Suatu pilihan yang cukup berani menurutku, bagi seorang siswa berlatar IPA(Ilmu Pengetahuan Alam).

Tidak ada masalah yang begitu berarti di masa adaptasi. Sistem kegiatan perkuliahan yang hampir sama dengan kegiatan belajar di SMA membuat lebih mudah untuk dijalani. Tantangan yang cukup berat adalah bagi mahasiswa yang dahulunya berlatar IPA. Akan tetapi, hal itu tidak dapat dijadikan pemakluman untuk bersantai tetapi sebaliknya.

Mahasiswa di kelasku yang semula berjumlah 24, berkurang dua orang. Satu sudah tidak masuk sejak awal karena diterima di universitas yang lain dan satu lagi Dwi Winarno, seorang teman yang memilih meninggalkan PNJ karena diterima di STAN. Tersisalah Aris Setiadi yang kemudian dipercaya untuk menjadi ketua kelas, Ardi, Asti, Yanti, Ipul, Glen, Siti, Farah, Rias, Aini, Hanung, Alfian, Desy, Desti, Nurul, Yekti, Mega, Dita, Fiona, Ramadhini, Stella, dan aku.

Teman sekelas yang tidak berganti selama tiga tahun, membuat kepribadian diri semakin dipahami satu sama lain. Berbagai kejadian yang dilewati bersama telah membuat tali persahabatan semakin erat. Berbagai karakter ini seperti elemen penyusun sebuah bangunan, berbeda tapi saling melengkapi.

Aris dengan tanggung jawabnya sebagai ketua kelas dan semangatnya untuk mahir berbahasa Inggris, Ardi dengan gaya yang khas hingga seorang dosen menjulukinya ‘Changcuters’, Siti dengan berbagai bakat seni yang dimilikinya, Farah yang bisa menjerit ketakutan saat didekati kucing, Yanti dengan logat Medan-Palembang yang bisa membuat orang sulit menebak jika sedang bermain ‘plesetan kata’, Asti yang setia menemani Yanti di saat suka maupun duka, Mega & Alfian yang selalu menjadi obat stress (bisa menambah atau mengurangi tingkat kestresan), Dita dengan suara Gita Gutawa (tapi sepertinya lebih bangga dibilang mirip Elya Kadam), Hanung dengan tubuh tingginya sehingga selalu diandalkan untuk menyalakan LCD, Rias dengan celetukan-celetukannya, Ai dengan wajah dan suara imutnya, Desti yang popular dengan ‘eng ing eng’ atau ‘e toet’, Desy atau Iyus yang terkadang candanya pun bersifat ilmiah, Glen yang entah kenapa meskipun tempat kosnya terbilang dekat dari kampus tapi masih kesulitan untuk menginjakkan kaki di kelas tepat waktu, Ipul dengan gerobak pulsanya dan keahliannya di bidang IT, Nurul dengan sundanese yang ke-korea-korea-an, Fiona dengan kedewasaannya, Ramadhini atau Hamet ‘Si Imut bersemangat Besar’, Stella dan Yekti yang sepertinya darah akuntansi mengalir deras di dalam tubuh mereka, dan aku yang…(silakan diisi sendiri ^^).

Berbagai hal yang dihadapi mulai dari tugas makalah, presentasi, tugas harian, dosen yang bermasalah, UTS, UAS, observasi perusahaan, dan Job Training telah dilalui bersama hingga tibalah di final yaitu TA dan siding pengujian. Semua itu terkadang membuat semangat ini naik dan turun, tetapi saat semangat ini mulai menurun maka yang dibutuhkan hanyalah melihat senyum di wajah mereka. Adakalanya kejenuhan yang melanda sudah tidak mampu disembunyikan lagi, maka mulailah kesenangan yang dilalui bersama. Bermain plesetan kata, nonton film bersama dengan menggunakan inventaris kampus dan yang paling fenomenal adalah ‘Crazy Little Thing Called Love’, makan bersama berdasarkan paham ‘One for All, All for One’ dan yang paling spektakuler adalah ‘fenomena kripik Mak Icih Level 10’, pemberian hadiah bagi yang berulang tahun, narsis bersama melalui kamera di laptop, bolos bersama, dan banyak lainnya.

Ketika ada kegembiraan maka ada pula kesedihan. Saat dimana air mata sudah tidak mampu terbendung lagi atau saat diri sudah merasa cukup lelah untuk menampung masalah sendiri. Sesi curhat untuk saling menguatkan pun sering menjadi solusi yang cukup ampuh untuk mengatasi kondisi ini.

Kini, tinggal menghitung hari maka gelar AK 6C Pagi akan segera dilepaskan. Begitu banyak kenangan yang telah tercatat di setiap lembar jurnal kelas ini. Waktu tiga tahun bersama mereka telah melukiskan begitu banyak hal dalam hidupku. Prestasi, persahabatan, cinta, semangat, pengorbanan, kebersamaan, dan banyak lagi yang kupelajari dari mereka. Semua ini tidak akan tergantikan oleh apa pun. Salah satu rasa syukurku yang luar biasa pada-Nya karena telah mengizinkanku bertemu dan bersahabat dengan mereka.

Jakarta, 28 Mei 2011

01:00 WIB

NB:

Semangat TA, Sidang, coming soon Wisuda ^-^

Tetap jaga komunikasi ya meskipun nanti sudah jarang ketemu…



Every time, everyday, everything…

Even though it doesn’t become words

Even if we’re apart

You are my special place

(Jikan Yo Tomare, by Azu feat Seamo)




Sobat…

Senyum, sedih, sukar, haru telah kita lalui bersama

Arti persahabatan dan kehidupan

Coba kuselami dari setiap pertemuan kita


Cinta yang sederhana ini

Telah menghasilkan persahabatan sederhana nan bersahaja


Mungkin kehadiran diri ini tidak berarti bagimu

Tapi sobat…

Dapat kupastikan satu hal

Kehadiranmu begitu berarti bagiku

(Jakarta, 29 Mei 2011)

Rabu, 04 Mei 2011

Copet Amatir

Di suatu siang yang cukup terik di daerah Jakarta Timur, aku berada di dalam sebuah mobil angkutan umum yang biasa disebut dengan KWK. Aku baru pulang dari menghadiri acara pernikahan temanku. Belum lama mobil ini beranjak keluar dari terminal, ada seorang bapak yang berseragam biru (seperti seragam sebuah buruh pabrik) naik dan duduk di pojok belakang. Kemudian, kira-kira lima meter dari bapak yang pertama, naik dua orang pria yang kali ini usianya sepertinya lebih muda dibanding bapak yang pertama naik.

Pria yang pertama, berambut cepak hampir botak dan pria yang kedua berbadan agak besar dan membawa sesuatu, sepertinya selembar karton yang berbentuk persegi kemudian dibungkus plastik. Untuk memudahkan, sebut saja bapak yang seperti buruh pabrik sebagai bapak tua, pria yang berambut cepak sebagai pria botak, dan pria yang membawa karton sebagai pria karton. Posisi tempatku duduk adalah tepat di samping dekat pintu. Pria botak duduk di sebrangku, pria karton duduk di sampingku, dan bapak tua duduk di pojok belakang.

Tiba-tiba…

“Mba, uhuk..uhuk.., misi ya.. saya gak kuat bau asap rokok. Uuek..uuuek…”, kata pria botak dengan wajah cukup panik sambil menutup mulutnya seperti ingin muntah.

Suasana di dalam mobil semakin panik karena pria botak selalu menggeser-geser kakiku, seolah ingin muntah di dekat kakiku. Aneh.

Saat kondisi sudah semakin panik, aku merasakan tas kecil yang kuletakkan di pangkuanku mulai bergeser ke arah pria karton. Aku teringat akan cerita ibu bahwa beberapa hari yang lalu seorang sepupuku dicopet di dalam angkutan umum dengan modus rokok yang mengenai baju dan membuat seluruh penumpang panik dan saat itulah si copet beraksi.

Jantungku berdegup hebat. “Jangan-jangan ini…”

Entah aku mendapat keberanian dari mana. Setelah menyadari, aku tidak memilih turun saat itu juga bahkan aku seperti menanti aksi mereka selanjutnya. Dengan degup jantung yang semakin memburu, aku perlahan menarik tas kecil di pangkuanku untuk membenarkan posisinya dan kemudian, “sreeet…”

Tanganku bergesekkan dengan tangan pria karton di sampingku. Ternyata benar, mereka copet.

Aku mulai mengatur napasku yang cukup tersengal. Dengan berani, aku menatap ke arah pria karton yang duduk di sampingku. Aku menatapnya dengan tajam dari ujung rambut hingga ujung kakinya dan dia terlihat seperti salah tingkah. Aku mulai menyadari bahwa karton yang dia bawa itu mungkin hanya untuk menutupi aksi tangannnya untuk mencari-cari barang di dalam tas orang. Kemudian aku melakukan hal yang sama ke arah pria botak dan dia juga terlihat salah tingkah hingga seakan dia lupa bahwa tadi ingin muntah.

Saat menatap mereka berdua, yang ada di benakku adalah kekesalan. Saat itu aku sempat berpikir seandainya aku mengenakan sepatu skets, pasti aku akan dengan senang hati menginjak kaki mereka sekuat tenaga dan kalau pun mereka melawan mungkin aku masih ingat sedikit ilmu karate pernah kudapat sewaktu SMA. Akan tetapi, saat itu keadannya aku sedang mengenakan pakaian dan sandal yang sangat feminin jadi tidak memungkinkan. Oleh karena itu, aku hanya bisa melampiaskan kekesalanku dengan menatap tajam ke arah mereka dan mencoba memperlihatkan wajah tidak ramahku.

Tidak lama kemudian, pria botak dan pria karton turun di suatu tempat, setelah sebelumnya pria botak memberi kode lewat mata kepada pria karton. Setelah itu, sekitar lima meter kemudian, bapak tua turun. Saat ku amati, ketiganya berjalan mendekat satu sama lain. Ternyata bapak tua juga komplotan mereka. Hal itu membuatku mendengus kesal dan kemudian beristighfar.

“Ya Allah.. Muka bapak itu sama sekali tidak mencerminkan pencopet. Aku benar-benar tertipu. Padahal sudah cukup tua, kenapa tidak insaf?”, keluhku dalam hati.

Misi gagal. Aku dapat mengambil kesimpulan bahwa sepertinya para pencopet itu masih amatir, khususnya pria karton yang bertugas mengambil barang dari tasku. Seharusnya dia bisa bergerak lebih cepat dan tidak salah tingkah saat aku menatapnya, karena itu membuatnya semakin terlihat bersalah.

-Based on True Story-

Selasa, 03 Mei 2011

Jembatan Bergaya

Beberapa minggu sebelumnya, di depan rumahku sedang dibangun sebuah jembatan. Jembatan ini dibuat untuk memudahkan warga melintasi sebuah kali yang jaraknya tidak jauh dari pagar rumahku. Jembatan yang dibuat berdasarkan kerja gotong royong, sebuah sistem kerja yang hampir hilang di zaman sekarang, ini akhirnya rampung dalam waktu kurang lebih satu bulan. Ukuran luas jembatan ini kira-kira bisa dilewati oleh sebuah mobil truk ukuran sedang.

Selama satu bulan itu pula, ayah dan ibuku ikut membantu sebisa mereka. Ibuku, sebagaimana ibu-ibu yang lainnya, ikut membantu dalam menyuplai konsumsi agar para bapak tidak kehabisan tenaga untuk bekerja.

Beberapa bulan berlalu. Alhamdulillah jembatan itu berfungsi sebagaimana mestinya, bahkan pagar di pinggir-pinggir jembatan itu sudah dihiasi dengan cat berwarna kuning cerah.

Berawal dari percakapan singkat antara aku dan ibuku di suatu sore.
"Ma, itu orang-orang yang naik motor kenapa suka berhenti di pinggir jembatan ya?"

"Gak tahu, mungkin ban motornya kempes kali.", jawab ibuku acuh.

Saat itu aku menerima jawaban ibuku tanpa perlawanan. Sebenarnya yang menarik perhatianku adalah jumlah mereka yang berhenti, lebih dari dua motor dan itu beberapa kali. Seolah ada yang membuat mereka harus berhenti di jembatan itu.

Di suatu malam, ada pasar malam sederhana di depan rumahku. Pasar malam ini memang biasa keliling dari kampung ke kampung dan malam itu mungkin jadwal mereka untuk mengadakan di daerah rumahku. Suasana malam itu cukup ramai dan kembali jembatan itu menarik perhatianku. Sekali lagi kutanyakan pada ibuku.

"Ma, coba deh mama lihat, orang-orang itu kenapa sih mereka berhenti di pinggir jembatan gitu? Kayaknya motornya gak kenapa-kenapa deh?"

"Oh itu, kayaknya mereka lagi foto-foto deh.."

"Hah? Foto? Di jembatan itu? Masa sih Ma?"

"Iya. Katanya sih emang orang-orang yang lewat kadang suka foto-foto di jembatan itu. Kenapa emang? Kamu mau mama foto di sana?"

"Ampun deh... Kalo foto di Jembatan Suramadu atau Jembatan Ampera sih aku mau deh. Tapi ini jembatan depan rumah, gak seru banget."

Tawaku dan mama sama-sama pecah saat percakapan itu.

Mungkin bagi sebagian orang, sesuatu yang dianggap remeh bisa saja berarti lebih bagi orang lain. Dari jembatan ini aku dapat mengambil satu pelajaran penting. Bahwa untuk bergaya di foto, tidak perlu jauh-jauh dan bayar mahal ke studio foto karena di jembatan pun bisa ^^